Senin, 13 April 2009

makalah balagah

  1. PENDAHULUAN

Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.

Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.

Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbaharui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini searah yang lebih maju, tidak mengalami kemunduran atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Pada makalah ini akan membahas mengenai balagah dan fasahah serta definisi dan pendapat-pendapat Ahli balagah mengenai kedua lafadz tersebut. Tidak lupa pula akan dijelaskan mengenai sejarah perkembangannya.

  1. POKOK PERMASALAHAN

1. Balagah pra turunnya Alqur’an

2. Balagah setelah turunnya Alqur’an

3. Devinisi Balagah dan Fasahah serta pendapat-pendapat Ahli balagah mengenai keduanya.

  1. PEMBAHASAN

1. Balagah pra turunnya Alqur’an

Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai tinggi. Seperti halnya Imri’ul Qais.[1]

Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang digunakan, maupun kandungan maknanya.[2]

Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan bayan.[3] Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-an dan ke-balaghah-an.

2. Perkembangan balagah setelah turunnya Alqur’an

Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.[4]

Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balagah dan merupakan model utama dalam rujukan penggubahan syai’r.

Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya untuk mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu surat saja sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah yang artinya :

“Dan jika kalian masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa (kitab) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka (coba) datangkanlah sekedar satu surat yang mirip dengannya dan ajaklah para pembantu kalian selain Allah (yang kalian anggap mampu) jika kalian benar-benar jujur”.

Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an dan mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan seksama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.[5]

Seperti halnya dalam surat hud ayat 44 yang mengandung nilai kebalagahan yang tinggi,

وقيل يا أرض ابلعي ماءك و يا سماء أقلعي وغيض الماء وقضي الأمر واستوت علي الجوديّ وقيل بعدا للقوم الظالمين

“ Dan Allah berfirman “hai bumi! Telanlah airmu! Hai langit hentikanlah hujanmu!” kemudian air surut dan selesailah perintah Tuhan. Dan bahterapun berlabuh di bukit judi, dan diucapkan “binasalah kaum yang dzalim”

Dalam ayat diatas mengandung 2 perintah (hai bumi! Telanlah airmu! Hai langit hentikanlah hujanmu! ), mengandung 2 berita (kemudian air surut dan selesailah perintah Tuhan ), mengandung kabar gembira (Dan bahterapun berlabuh di bukit judi), dan mengandung pengharapan (“binasalah kaum yang dzalim”).[6] Sungguh betapa tingginya nilai sastra ayat tersebut. Ini membuktikan bahwa Alqur’an adalah referensi utama dalam kajian ilmu balagah.

Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.[7]

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170 H).Sedangkan ilmu ma’ani, maka tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far .[8]Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang lain berjudul al-Bayan wa al-Tabyin. [9]

Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai banya kemajuan ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani. Kedua kitab tersebut adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab I’jazul Qur’an, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.

Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.[10]

Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.[11]

3. Devinisi Balagah dan Fasahah serta pendapat ahli balagah mengenai keduanya.

kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam bidang ini dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:

1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:

أما البلاغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة فصيحة لها في النفس أثر خلاب مع ملائمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه والأشخاص الذين يخاطبون.

“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.[12]

2. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :

الحد الصحيح للبلاغة في الكلام هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع الإقناع من العقل والوجدان

“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalah keberhasilan si pembicara dalam menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya”.[13]

Dari 2 definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan tersebut.

Sedangkan “Fashahah” maknanya jelas dan terang. Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya dan baik susunannya. Untuk mencapai predikat Fashahah, suatu kalimat harus memenuhi 4 kriteria :

1. Harus terdiri atas kata-kata yang sesuai dengan kaidah sharaf yang benar dan mudah di pahami.

2. Susunan kalimatnya tidak terdiri atas huruf-huruf yang tanafur[14]

3. Kalimat yang tidak rancu susunannya.

4. kalimat yang tidak rancu maknanya.[15]

Adapun pendapat para Ahli Balagah mengenai lafadz balagah dan fashahah adalah sebagai berikut :

1. Imam Abdul Qohir al-Jurjany dan beberapa Ahli balagah terdahulu berpendapat bahwasanya fashahah dan balagah adalah sebuah padanan kata atau sinonim. Yang dimaksud sinonim disini jika ditinjau dari aspek kalam atau ucapan.

2. Abu Hilal al-Asykary berpendapat dalam kitab Shona’atain, bahwasanya balagah dan fashahah bermakna sama walaupun kata asalnya berbeda. Karena keduanya adalah penjelasan dari sebuah makna.

3. Aljauhary dalam kitab as-Shihah mengatakan bahwa balagah dan fashahah adalah sama.

4. Sedangkan ar-Razy dalam kitab nihayatul Ijaz, mengatakan bahwa sebagian besar ahli balagah tidak menghendaki perbedaan antara Balagah dan fashahah.[16]

  1. PENUTUP

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setelah turunnya Alqur’an, para ahli balagah menjadi semakin terinspirasi untuk mengembangkan kajian-kajian tentang ilmu balagah hingga akhirnya seperti sekarang ini. Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara balagah dan fashahah, namun kajian tentang keilmuan ini masih tetap menarik untuk dipelajari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-jarimi Ali, Amin Musthafa, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1951)

2. Alhasyimi Ahmad, jawahirul balagah,( Kairo : Muassasah Al-mukhtar, cet.2. 2006)

3. Raya A. Thib, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, (Jakarta: Fikra, 2006)

4. A. Makdisi George, Cita Humanisme Islam, terj. A. syamsu Rizal & Nur Hidayah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005)

5. Jalal Abdul, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000).



[1] . Imri’il Qais adalah tokoh penyair Jahiliyah yang merintis pembagian bab dan macam-macam syair. Ia di lahirkan pada tahun 130 sebelum Hijriyah.dan ia wafat pada tahun 80 sebelum hijriyah. Lihat Ali al-Jarim & Musthafa Amin, Dalam Al-Balaghah al-Wadhihah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1951),hlm.7

[2]. A. Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an, (Jakarta: Fikra, 2006), hlm. 31.

[3]. Ibid. hlm. 32.

[4]. George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, terj. A. syamsu Rizal & Nur Hidayah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 228.

[5]. George A. Makdisi, Op.cit. h. 226.

[6]. Ahmad Alhasyimi, jawahirul balagah,( Kairo : Muassasah Al-mukhtar, cet.2. 2006) hlm. 5

[7] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), cet. Ke-II. h. 370.

[8] . Ahmad Alhasyimi, Op.Cit. hlm 5

[9]. A. Thib Raya, Op.cit, hlm. 37

[10]. Ahmad Alhasyimi, Op.cit. hlm. 5

[11] . A. Thib Raya, Op.cit. hlm 39

[12] Ali al-Jarim & Musthafa Amin, Op.cit.hlm. 8.

[13] Abdul Jalal,Op.cit. hlm. 370.

[14]. Huruf-huruf yang bila tersusun dalam suatu kata, kata itu sulit untuk didengar dan diucapkan..

[15]. Ali al-Jarim & Musthafa Amin, Op.cit.hlm. 6-7

[16]. Ahmad Alhasyimi, Op.cit. hlm. 16